Jayapura (WAGADEI) — Tepat tanggal 21 Maret setiap tahun selalu diperingati sebagai Hari Hutan Sedunia. Dalam berbagai percakapan pembangunan seringkali keberadaan hutan dipandang sebagai tegakan pohon dan kayu saja, sehingga isinya dapat dikuras menjadi komoditi ekonomi kayu, perdagangan karbon dan atau dialih fungsi untuk menjadi lahan usaha perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Hal ini disampaikan Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, melalui keterangan tertulis kepada wagadei.id, Selasa (21/3/2023).
Dia mengatakan paradigma dan praktik pembangunan pemanfaatan hasil hutan sebagai komoditi komersial ini telah menghancurkan dan menghilangkan hutan dalam skala luas, menimbulkan bencana ekologi, perubahan iklim, yang pada gilirannya menyingkirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada dan berdiam disekitar kawasan hutan atas sumber kehidupannya, sehingga terjadi konflik kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pemerintah, menurutnya, seharusnya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat untuk menguasai, mengatur, mengelola dan memanfaatkan hutan adat.
Sebab, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim dan Persetujuan Paris, yang diantaranya mewajibkan negara mengambil upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalisir penyebab perubahan iklim dan mitigasi dampak buruk yang dihasilkannya ; dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
“Dimana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menetapkan keputusan Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Rencana Operasi Indonesia’s Forest and Other Land Use Net Carbon Sink (FOLU Net Sink) 2030 untuk pengendalian perubahan iklim, yang diantaranya mempunyai sasaran untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan,” ujarnya.
Namun, lanjut dikatakan, faktanya hari ini, pengrusakan dan penggundulan hutan di Indonesia masih terus terjadi oleh karena kepentingan bisnis komersial hasil hutan kayu dan lahan usaha perkebunan.
Dia mencontohkan, seperti di Papua, dari pemantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat terhadap perubahan tutupan hutan, ditemukan adanya deforestasi, penggundulan hutan yang diduga untuk usaha perkebunan kelapa sawit di areal perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera dan PT Inti Kebun Sawit di kabupaten Sorong, dan areal PT Subur Karunia Raya di kabupaten Teluk Bintuni, dengan total hutan yang hilang sejak Januari hingga Februari 2023 sekitar 413 hektar.
“Tiga perusahan ini terdaftar sebagai perusahaan yang dicabut izin konsesinya oleh Menteri LHK, namun masih beraktifitas,” herannya.
Bahkan berdasarkan Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, 2023, terpantau deforestasi di Papua pada tahun 2022 seluas 19.426 hektar, seluruhnya berasal dari aktifitas bisnis pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit.
“Deforestasi di Papua berpotensi bertambah luas seiring dengan adanya rencana pemberian izin baru, perluasan areal usaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, penegakan hukum yang lemah dan kebijakan pengembangan daerah otonomi baru,” tandasnya.
Dia menyatakan melihat kondisi di Papua tersebut, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berpandangan bahwa hutan bukan hanya kayu dan sumber lahan untuk komoditi komersial saja, melainkan memiliki keragaman fungsi ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya, yang seharusnya ditata dan dikelola secara lengkap memadai.
“Masyarakat adat Papua yang hidup disekitar dan dalam kawasan hutan mempunyai kemampuan pengalaman, norma dan pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat. Pemerintah seharusnya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat untuk menguasai, mengatur, mengelola dan memanfaatkan hutan adat, dengan menghasilkan dan menjalankan kebijakan peraturan dan program bagi masyarakat adat dan pengelolaan hutan adat yang adil dan berkelanjutan,” tekannya.
Dimintanya, pemerintah harus menyegerakan penertiban dan upaya penegakan hukum secara sungguh-sungguh dan kuat atas izin-izin perusahaan yang telah dicabut izin konsesi di kawasan hutan.
Sebab berdasarkan lampiran putusan SK Menteri LHK Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, kata dia, terdaftar 48 perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan pencabutan izin dengan luas konsesi 1.063.100 hektar.
“Sejauh ini belum ada informasi yang disampaikan evaluasi, penegakan hukum dan pemberian sanksi atas perusahaan dimaksud. Justeru ditemukan adanya upaya pemberian izin baru dalam kasus PT Sorong Global Lestari di Kabupaten Sorong, dan aktifitas penggundulan hutan untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit,” bebernya.
Sehingga pihaknya mendesak negara dan korporasi untuk menghormati dan melindungi keberadaan dan aktifitas Pembela HAM Lingkungan (mereka) yang berjuang diakar rumput dan digaris depan penjaga hutan, maupun aktivis membela dan memperjuangkan HAM dan lingkungan.