Semangat Literasi dari Tastura Mengajar

AKHIR pekan lalu kami mengisi waktu dengan nongkrong di kesejukan air terjun babak pelangi, desa Lantan, kecamatan Batukliang, Lombok Tengah. Desa Lantan menjadi buah bibir karena menjadi lokasi Sirkuit Motorcross. Akses menuju sirkuit sudah bagus. Jalan aspal mulus. Jembatan baru dibangun. Tapi sayang dari arah sirkuit ke dusun Rerantek masih hancur. Masih berupa jalan tanah. Padahal di dusun itu ada SD-SMP Satu Atap. Dusun itu menjadi penyumbang berbagai hasil bumi yakni pisang, durian dan kopi.

Dusun ini pernah menjadi lokasi pengabdian komunitas literasi Tastura Mengajar. Sejak awal berdiri, 5 tahun silam, dusun ini adalah pilihan pertama tempat berkegiatan. Mereka menginspirasi anak-anak sekolah di sana, dan pengabdian kepada masyarakat. Saat itu air terjun babak pelangi masih belum dikenal. Mereka ikut mengenalkan hingga viral dan fasilitas di sekitar air terjun di perbaiki.

Komunitas ini gabungan dari anak-anak muda Lombok Tengah (ada juga anggota dari luar Lombok Tengah) yang peduli pada kegiatan literasi. Mereka rutin blusukan ke kampung terpencil. Membawa bahan bacaan. Mengajar membaca. Mendongeng. Bermain. Komunitas ini diisi oleh mahasiswa, guru, pegawai swasta, jurnalis, petani. Ya petani. Ya lokasi tempat kami berkegiatan di Lantan adalah rumah anggota mereka. Seorang petani. Sehari-hari membawa hasil bumi ke pasar.

Komunitas – komunitas literasi yang selama ini saya kenal bergerak ke kampung. Mereka mandiri secara finansial. Mereka tak pusing apakah pemerintah menyediakan anggaran atau tidak. Di kegiatan Tastura Mengajar ketika ada kegiatan para relawan saweran. Seperti pada kegiatan di Lantan seperti ada yang bawa beras, bawa terong sebagai lauk, tempe, tomat, cabe, telur. Semua berkontribusi. Karena itulah saya pun ikut saweran. Walaupun sebagai undangan, menjaga agar tradisi saweran ini tetap berlaku bagi siapa pun yang ikut. Saya rasa ini tradisi yang bagus.

Selama ini kerap kali panitia sebuah kegiatan pusing dengan urusan yang sebenarnya tidak terkait dengan substansi kegiatan. Urusan kopi. Urusan konsumsi. Padahal jika masing-masing peserta yang terlibat membawa makanan dan minuman sendiri, panitia akan fokus mengurus kegiatan. Lagian, dalam kehidupan sehari-hari pasti orang menyiapkan sendiri makannya. Entah itu beli di warung, memasak, atau masih menumpang makan sama orang tua.

Dengan tradisi saweran ini, apa pun makanannya harus diterima karena itu dibawa sendiri oleh peserta. Dimasak bersama. Sederhana. Toh kita makan untuk bertahan hidup. Biar tidak lapar. Jangan menghabiskan waktu kegiatan hanya untuk mengurus konsumsi.

Komunitas – komunitas literasi sudah kenyang pengalaman, dan beberapa komunitas memiliki jejaring. Karena itulah kepada Tastura Mengajar saya usulkan agar memiliki program yang bisa melibatkan lebih banyak orang. Melibatkan komunitas lainnya. Kolaborasi. Dengan model kerelawanan ini saya rasa semua akan ikhlas menyiapkan sendiri logistiknya.

Bahkan ada satu komunitas yang ketika berkegiatan melarang relawan untuk memberikan hadiah yang cukup besar kepada anak-anak, melarang buat proposal, bahkan tidak boleh menerima sumbangan. Ini murni sebagai bentuk kerelawanan. Biar relawan fokus pada substansi kegiatan, agar kelak ketika ada relawan lainnya yang datang ke lokasi, tidak dibandingkan dengan relawan sebelumnya.

Beberapa kasus kegiatan, sering saya menemui masyarakat sudah berharap dapat honor. Uang transportasi. Uang saku. Padahal mereka belajar. Saya rasa ini akibat seringnya kegiatan yang memberikan sesuatu kepada masyarakat. Akhirnya menjadi kebiasaan. Jika ada kegiatan pasti dapat honor.

Lumayan dapat uang saku. Salah seorang pejabat di pemerintahan pernah “curhat”. Beberapa kali bikin pelatihan, tapi setelah itu nggak ada hasilnya. Goalnya tidak tercapai. Hmmm bisa jadi peserta semangat karena dapat honor besar dan nginap gratis di hotel.

Ini tidak salah. Hanya saja untuk kegiatan-kegiatan komunitas sebaiknya jangan meniru pola seperti itu. Jika pun nanti komunitas dapat dukungan sponsor misalnya, atau dapat dukungan dari pemerintah, tapi tetap komunitas yang mengatur acara. Dukungan itu untuk sekadar membantu kegiatan. Membantu pada aksesoris acara. Misalnya bantuan konsumsi atau sekadar baju kaos. Selebihnya kembali ke semangat relawan.

Lombok Tengah memiliki penduduk terbesar kedua setelah Lombok Timur. Di beberapa grup WA, di Facebook, di media online, Lombok Tengah dikenal karena banyak LSM. Itu bagus. Ada yang mengontrol pemerintah.

Tapi kemunculan Tastura Mengajar bisa menjadi oase di tengah dominasi wacana politik dan pemerintahan di Lombok Tengah. Mereka bergerak ke komunitas, ke kampung – kampung. Sekarang mereka bergerak di kampung terpencil di lingkar KEK Mandalika. Mereka sadar bahwa KEK Mandalika banyak memberikan perubahan, tapi ada beberapa kampung yang masih juga tak tersentuh. Tastura Mengajar menyentuh melalui kegiatan literasi. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *