Jayapura, (WAGADEI) – Sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang, maka 10 pelaku terdakwa kasus penembakan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil asal kabupaten Nduga yang terjadi di kabupaten Mimika, pada 22 Agustus 2022, harus dijatuhi sanksi setimpal yakni hukuman mati.
Mahasiswa Papua asal kabupaten Nduga yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Se-Indonesia (IPMNI) Wilayah Se-Jawa dan Bali menyatakan itu dalam jumpa pers, Kamis (19/1/2022), di sekretariat IPMNI Semarang-Salatiga.
“Ke 10 terdakwa itu negara harus jatuhi hukuman mati karena mereka telah melanggar UU HAM yang mewajibkan setiap orang dimana saja harus junjung tinggi. Dimana para pelaku itu dengan sadar telah menghilangkan nyawa empat warga sipil dengan sangat sadis. Setelah tembak, semua bagian tubuh korban mereka potong-potong,” tegas Pinus Nirigi, salah satu mahasiswa pada kesempatannya dalam jumpa pers itu.
Terkait persidangan yang dilakukan terpisah, Mayor (Inf) Hermanto Fransiskus Dakhi melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan lima terdakwa anggota militer lainnya yakni, Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawa, Prajurit Kepala Pargo Rumbouw melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, serta empat tersangka sipil yang kasusnya masih belum dilimpahkan ke Pengadilan Umum di Timika hingga sekarang, dinilai sudah dari awal tidak transparan, akuntabel, tertutup dan berujung melindungi para pelaku.
“Kami pelajar dan mahasiswa Nduga, berbagai pihak yang peduli dengan kasus ini dan keluarga korban sudah dari awal minta supaya semua persidangan dilakukan di Timika secara terbuka untuk umum. Namun permintaan dari kami semua itu tidak didengar dan persidangan telah dilakukan terpisah luar Timika dan tertutup,” kesalnya.
Pihaknya menduga dilihat dari semua proses yang telah berlangsung, kesepuluh terdakwa itu negara berencana melindungi seperti terdakwa tunggal dalam kasus Paniai Berdarah, Isak Sattu yang divonis hukuman bebas.
“Jika itu yang terjadi, jelas bahwa suatu penghinaan hukum amat luar kewajaran terhadap keluarga korban dan umumnya kepada seluruh orang Papua. Karena banyak kasus pelanggaran HAM berat serupah yang sudah terjadi di Papua seperti kasus Biak Berdarah, Wasior Berdarah, Wamena Berdarah, Abepura Berdarah dan lainnya sampai sekarang satu saja belum negara selesaikan secara tuntas. Keluarga korban dari kasus-kasus itu masih tunggu keadilan hukum dari negara,” tandasnya.
Sementara, salah satu keluarga korban, Kaliminus Balinol mengaku sangat kecewa dengan putusan hakim terhadap Mayor (Inf) Hermanto Fransiskus Dakhi yang dituntut hukum hanya 4 tahun penjara dengan didakwa Pasal 480 KUHP dan dipecat dari dinas TNI AD, dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura, Kamis (19/1/2023).
“Pasal tersebut seolah-olah seperti hukuman yang dikenakan kepada pencuri sendal. Karena hukumannya jauh berbeda dari harapan keluarga yang mestinya memberikan hukuman yang setimpal dengan keepat warga sipail yang dimutilasi,” tegasnya.
Berikut 10 poin tuntutan desakan IPMNI yang bergabung bersama keluarga korban:
1. Menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan Pasal 480 KUHP oleh Orditurat Tinggi berdasarkan informasi SIPP. Hal ini sangat cacat hukum, karena susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis sebab menaruh Pasal 480 Ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer adalah merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.
2. Hakim Militer Tinggi III Surabaya fan Orditurat Tinggi Makassar dangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku.
3. Kami juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak manapun selama persidangan berlangsung.
4. Setiap pelaku wajib diberikan hukuman yang setimpal dengan menggunakan Pasal yang sesuai yaitu Pasal 340 KUHP (Terencana, Terstruktur , Dan Sistematis).
5. Mahkamah Agung segera mencabut dan mengatrol dakwaan-dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan.
6. Menuntut pelaku untuk dihukum mati.
7. Presiden Jokowi untuk melihat segala fakta proses persidangan bagi orang Papua secara langsung.
8. Menkopolhukam melakukan kontrol atas setiap persidangan di Papua.
9. Panglima Tentara Nasional Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika.
10. Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota.Empat warga sipil Nduga yang menjadi korban penembakan dan mutilasi diantaranya, Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi dan Atis Tini