Jayapura, (WAGADEI) – Kampung Walesi, Jayawijaya direncanakan akan dibangun kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan (PPP). Namun mahasiswa yang tergabung di dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa asal wilayah Walesi, Walaik, Napua dan Pelbaga yang disingkat menjadi IPM-WEWANAP Jayawijaya yang sedang mengenyam pendidikan di kota dan kabupaten Jayapura dengan tegas menolak pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan yang dijuangkan oleh segelintir orang itu.
Ketua IPM WEWANAP Yaget Yelipele mengatakan penolakan rencana pembangunan gedung perkantoran itu karena hingga saat ini pihak pemerintah masih belum melakukan diskusi dengan berbagai pihak terkait, salah satunya adalah mahasiswa asal daerah itu.
“Soal pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan di wilayah kami Welesi, itu diperjuangkan oleh segelintir orang. Kami mahasiswa bersama berbagai pihak di Welesi belum sepakat untuk berikan tanah itu kepada pemerintah,” kata Yaget Yelipele kepada awak media, Sabtu, (14/1/2023).
Kampung Walesi, kata dia, terbilang sebagai daearh kecil sehingga sangat tidak layak untuk mendirikan sejumlah fasilitas pemerintahan setingkat provinsi. “Kampung Walesi itu daerahnya sangat kecil, anak cucu mau ke mana?,” ujarnya bertanya.
“Untuk itu, kami sebagai mahasiswa tetap menolak dengan melihat wilayah Walesi yang begitu kecil. Kalau tanah itu diserahkan untuk bangun kantor gubernur Papua Pegunungan, anak cucu di kemudian hari akan kemana? Ini menjadi alasan kami dengan tegas menolak pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan,” ungkapnya.
Ia mengatakan, di wilayah Walesi kehidupan masyarakat itu saling bergantung pada tanah yang diciptakan Tuhan untuk manusia agar hidup dari mengelola tanah bukan menjual tanah.
“Jika diberikan kepada pemerintah, mereka (masyarakat) akan kemana? Ya tentu akan terlantar jadi untuk berikan tanah ini ke pemerintah daerah harus ada musyawarah untuk sepakat bersama,” ujarnya.
Jasman Yeleget, salah satu mahasiswa di Jayapura asal Walesi mengaku, berdasarkan beberapa pengamalan selama ini, pengambilan keputusan bersama dengan musyawarah. Dengan begitu, keputusan bisa mencapai mufakat dengan diliputi oleh semangat kekeluargaan.
“Musyawarah bersama itu untuk menghindari terjadi konflik horizontal antara rakyat di masa depan,” katanya. (*)