Tak Ingin Hutan jadi Kebun Sawit, Masyarakat Adat di Sorong gelar aksi

Jayapura, (WAGADEI) – Persekutuan Masyarakat Adat Tehit di Sorong Selatan, Papua Barat, menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit. Mereka tak ingin wilayah dan hutan adat sebagai  ruang hidup mereka terganggu.  Hidup bergantung hutan  dari berburu dan meramu bisa terancam kalau hutan jadi kebun sawit.

Rangkaian aksi penolakan atas perusahaan sawit oleh masyarakat Teminabuan dan Konda, membuahkah hasil dengan pencabutan dua izin prinsip perusahaan sawit Bupati Sorong Selatan. Pada 3 Mei 2021, Bupati Samsudin Anggiluli menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan izin lokasi dan IUP untuk tiga perusahaan sawit.

Dua perusahaan yang izin dicabut melawan, dan menggugat Bupati Sorong Selatan. Di PTUN Jayapura, gugatan perusahaan kandas. Perusahaan banding dan dikabulkan PTTUN Makassar. Bupati Sorong Selatan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi belakangan mencabutnya.

Charles Tawaru, Coordinator Project Yayasan Konservasi Indonesia (YKI) Sorong mengatakan,  kalau sampai perusahaan sawit beroperasi itu kesuraman masa depan masyarakat adat sudah di depan mata. Selain menghancurkan biodiversitas hutan, dalam hitungan jangka panjang kebun sawit bukan proyek yang ramah lingkungan.

“Kami tolak! Kami tolak sawit! Kami tidak mau ada perusahaan sawit di kami punya tanah Tehit ini,” teriak Orpa Konjol.

Dengan tangan mengepal dan ikan kepala kain merah, perempuan adat Suku Tehit Mlaqya ini berorasi penuh semangat. Orpa tidak sendirian. Siang itu, usai ibadah Minggu, 9 Oktober lalu, bersama Marthen Konjol dan puluhan warga Kampung Wersar dan Tapiri, Distrik Teminabuan, mereka menggelar aksi damai di pertigaan jalan kampung. Bergantian orasi dengan Marthen, suara mama Papua yang berusia lebih setengah abad ini terdengar lantang meski sedikit parau.

Sejak 2013,  masyarakat Suku Tehit di Distrik Konda dan Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat ini menggelar aksi penolakan perusahaan sawit.

Dalam beberapa kali aksi massa ini bersama dengan Masyarakat Suku Tehit Nakna, Tehit Gemna, Tehit Yaben dan Tehit Afsya. Suku Tehit, satu suku besar pemilik ulayat di Sorong Selatan, Papua Barat. Selain itu, ada Suku Imekko (Inanwatan/Bira, Metemani, Kais dan Kokoda/Emeyode). Komunitas Tehit jadi tuan tanah atas wilayah adat di Distrik Teminabuan dan Konda.

Sebagai distrik tertua, Teminabuan dengan luas wilayah mencapai 388,98 km,² populasi penduduk 20.846 jiwa (2021), punya dua kelurahan, Kaibus dan Kohoin dan 14 kampung.

Sedangkan Distrik Konda, dengan cakupan wilayah 612,70 km², memiliki lima kampung: Bariat, Konda, Manelek, Nakna dan Wamargege. Sebagai ibukota distrik, Konda adalah wilayah adat Tehit Gemna, Tehit Yaben, Tehit Nakna dan Tehit Afsya. Tehit Gemna, yang menghuni Kampung Manelek dengan nama Marga Gemnafle, Gemnase, Wasfle, Sawor dan Kedemes.

Dalam aksinya, persekutuan Masyarakat Tehit ini menegaskan penolakan terhadap PT Anugerah Sakti Internusa (ASI), perusahaan sawit yang akan merambah hutan adat mereka. Aksi terakhir, 9 Oktober lalu, juga menyuarakan dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli yang tengah berupaya hukum di pengadilan.

ASI dan PT Persada Utama Agromulia (PUA) menggugat  Bupati Sorong Selatan menyusul pencabutan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) itu Mei 2021. Satu lagi,  izin lokasi dan IUP yang juga dicabut adalah PT Internusa Jaya Sejahtera (PJS). Perusahaan terakhir tak melakukan gugatan.

Tiga perusahaan perkebunan sawit ini dimiliki Indonusa Agromulia Group, berlokasi di Distrik Sawiat, Seremuk, Teminabuan, Kais, Konda, Wayer dan Moswaren di Sorong Selatan. Indonusa sebagai perusahaan patungan, beralamat di Gedung Permata Kuningan Lantai 19, Jalan Kuningan Mulia Kavling 9C, Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.

Iwan Kurniawan Niode, Kuasa Hukum ASI dan PUA menyebut, terpaksa melayangkan gugatan setelah permohonan klarifikasi dan surat keberatan administratif ke Bupati Sorong Selatan, tak membuahkan hasil. Dalam permohonan klarifikasi dan keberatan administratif atas keputusan Bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP, kata Iwan, alasan mengapa perusahaan tak segera melakukan kegiatan penanaman. Selama 10 hari sejak surat terakhir dikirim Oktober 2022 tak ada jawaban, Iwan mengklaim Bupati Sorong Selatan setuju dengan keberatan ASI dan PUA.

“Kami sedang melengkapi dokumen izin lain, namun dalam perjalanan datang pandemi COVID-19. Saat semua proses itu terhenti, tiba-tiba Bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP yang sudah kami miliki. Ini yang cacat prosedur. Kami butuh klarifikasinya,” kata Iwan menjawab Mongabay, 4 Desember lalu.

Sebelum izin dicabut,  konsesi ASI seluas 37.000 hektar di Distrik Konda dan Teminabuan. Perusahaan ini mendapatkan izin lokasi melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/184/BSS/XII/2013 tertanggal 16 Desember 2013. PUA pegang konsesi 25.000 hektar di Distrik Wayar dan Kais dengan izin lokasi tertanggal sama. Setahun kemudian, terbit IUP dari Bupati Sorong Selatan.

Masing-masing izin dari Bupati Sorong Selatan era Otto Hhalauw ini, dengan masa berlaku selama tiga tahun dan harus diperpanjang.

“Seingat saya, waktu itu Pak Bupati juga komunikasi dengan masyarakat adat sebelum mengambil keputusan. Tidak ada aksi-aksi penolakan, sampai akhirnya izin lokasi terbit,” kata Suroso, saat proses penerbitan izin menjabat sebagai Sekretaris Bappeda Sorong Selatan.

Keterangan ini juga dibenarkan Iwan Kurniawan Niode. Dia mengaku masih menyimpan bukti-bukti penyerahan sejumlah ‘uang kompensasi’ sebagai bentuk kesepakatan atas kehadiran perusahaan sawit, kepada tokoh suku dan marga. Bukti ini telah dibuka dalam ruang persidangan.

“Tapi ini bukan uang ganti rugi lahan, karena proses itu memang belum kami lakukan. Hanya uang komitmen atas hadirnya perusahaan. Kami tidak bisa buka bukti itu ke masyarakat agar tidak terjadi perpecahan di masyarakat. Jangan sampai ada konflik, itu yang kita jaga,” kata Iwan.

Kesaksian ini kontra dengan pengakuan Andarias Mabruaru, Kepala Kampung Konda. “Sa (saya) minta tunjukkan siapa saja masyarakat yang dulu menyetujui ada perkebunan sawit di sini? Tolong sebut. Kami ingin tahu,” katanya, dalam perbincangan dengan Mongabay Oktober lalu.

Masyarakat adat, katanya,  sebagai pemilik ulayat, belum pernah diminta persetujuan pemerintah daerah maupun perusahaan terkait rencana usaha dan izin perusahaan.  “Kami tidak setuju. Kami justru menolak rencana perusahaan,” kata Andrianus Kamerai, Kepala Kampung Bariat.

Andrianus maupun Andarias, satu suara dengan Korinus Seranik, tokoh pemuda Suku Tehit. Masyarakat baru tahu akan ada perusahaan sawit yang sudah mengantongi izin setelah mengikuti sosialisasi.

Pada 2013, ASI melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat adat di Distrik Konda, untuk sosialisasi terkait rencana perusahaan mengembangkan usaha perkebunan sawit di daerah itu.

Korinus bilang, saat itu masyarakat tak menyetujui. Masyarakat menolak rencana perusahaan karena alasan hutan itu tempat mereka mencari penghidupan.

“Kami tidak mau kehilangan mata pencaharian,” kata Korinus.

Penolakan itu kembali disampaikan masyarakat pada Agustus 2015, saat ASI dan PUA sosialisasi dan konsultasi publik analisis dampak lingkungan (andal) di Gedung Wanita, Sorong Selatan.

Warga Teminabuan dan Konda yang mengikuti pertemuan memberikan kesaksian kalau masyarakat menolak rencana perusahaan.

Kedaulatan masyarakat pemilik ulayat, jadi penentu langkah selanjutnya. Menurut Suroso, keputusan Bupati Sorong Selatan yang menerbitkan izin lokasi dan IUP, bukanlah kebijakan final yang tidak bisa dibatalkan.

“Alur prosesnya dinamis, bisa sosialisasi ke masyarakat dulu baru terbit izin, atau sebaliknya. Jadi, meski izin sudah terbit namun setelah sosialisasi ada penolakan, ya bisa dibatalkan surat itu. Masalah di Sorsel ini sama persis dengan kejadian di Kabupaten Sorong,” katanya, yang kini menjabat Asisten II Setda Kabupaten Sorong.

Sejatinya, tanpa harus mencabut izin lokasi maupun IUP, perusahaan tidak bisa melanjutkan niat membongkar hutan ketika bupati tidak memperpanjang izin yang punya umur tiga tahun itu.

Suroso bilang, bisa saja bupati berdalih menolak memperpanjang izin karena masyarakat menolak kehadiran perusahaan sawit.

Faktanya, pada 2020, Bupati Sorong Selatan menerbitkan SK Nomor 401/292/BSS/IX/2020 tertanggal 10 September 2020 tentang perpanjangan izin lokasi untuk ASI. Hanya, luas lokasi dari 37.000 hektar jadi 14.667,26 hektar. Perpanjangan izin lokasi pada tanggal sama juga diberikan Bupati Sorong Selatan untuk PUA, dengan Nomor 402/292/BSS/IX/Tahun/2020. Luas izin PUA pun menyusut dari 25.000 hektar jadi 12.100,78 hektar.

***

Sebelum perpanjangan izin pun masyarakat di Teminabuan dan Konda, sudah gencar menolak perusahaan sawit. Setelah perpanjangan, penolakan makin kuat.

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, pergerakan massa kembali masif sejak Maret 2020. Yayasan Pusaka, salah satu organisasi masyarakat sipil yang aktif mendampingi warga.

Pada 10 Maret 2020, misal, warga di Distrik Konda bermusyawarah dan sepakat menolak ASI dengan tiga alasan. Pertama, wilayah adat makin terdesak. Kedua, hutan tempat mencari makan dan minum masyarakat. Ketiga, banyak tempat keramat bersejarah di dalam hutan adat itu.

Pada 18 Agustus 2020, Aliansi Masyarakat Sagu (AMASA) Papua Barat mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan proses pelepasan kawasan hutan untuk ASI. AMASA juga mendesak DPRD dan Bupati Sorong Selatan tak menyetujui perpanjangan izin ASI di Distrik Konda dan Teminabuan, dan operasi PUA, di Distrik Wayer dan Kais.

“Alasan masyarakat untuk melindungi hutan tersisa dan tempat masyarakat mencari nafkah,” kata Angky, sapaan Franky Samperante.

Lanjut pada 8 September 2020, masyarakat dari Distrik Konda dan Teminabuan aksi protes kepada pemerintah dan perusahaan saat sosialisasi. Pada sosialisasi itu, mereka meminta persetujuan masyarakat di Kampung Bariat, Distrik Konda, Sorong Selatan.

Aksi massa ini terus berlanjut pada 20 Mei 2021. Ratusan warga adat dari berbagai kampung di Sorong Selatan yang terancam perkebunan sawit aksi di Kantor Bupati Sorong Selatan.

Rangkaian aksi penolakan atas perusahaan sawit oleh masyarakat Teminabuan dan Konda, membuahkah hasil dengan pencabutan dua izin prinsip perusahaan sawit Bupati Sorong Selatan. Pada 3 Mei 2021, Bupati Samsudin Anggiluli menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan izin lokasi dan IUP untuk tiga perusahaan sawit.

Bupati menyerah?

Keputusan Bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP perusahaan sawit itu, berbuntut pada proses hukum. Pada 29 Desember 2021, dua dari tiga perusahaan Indonusa Agromulia Group yang dicabut izinnya, menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura.

Dalam perjalanan sidang, pada 23 Mei 2022 majelis hakim PTUN Jayapura memutuskan “menolak permohonan penundaan yang diajukan penggugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.”

Tidak terima dengan putusan itu, ASI dan PUA mengajukan banding ke PTTUN Makassar. Memori banding disampaikan pada 20 Juni 2022, menyebutkan, majelis hakim PTTUN Makassar mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan obyek sengketa sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, putusan PTTUN juga mengabulkan gugatan penggugat atau pembanding untuk seluruhnya. Juga menyatakan batal keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan Bupati Sorong Selatan.

Atas kekalahan di meja banding, awalnya Bupati Sorong Selatan menyampaikan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung, dengan mendaftarkan perkara 31 Agustus 2022. Belakangan keputusan itu dianulir.

“Saya diperintahkan Pak Bupati untuk mencabut pendaftaran kasasinya. Pak Bupati tidak mau kasasi,” kata Theodorus H. Thesia, Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Sorong Selatan, Oktober lalu.

Bupati Samsudin Anggiluli saat dimintai konfirmasi, mendelegasikan kepada Nimrod Nauw, Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Persandian dan Statistik. Kepada media ini, Nimrod menyebut,  tidak ada alasan istimewa dari keputusan Bupati Sorong Selatan.

“Karena pertimbangan kesibukan beliau saja. Karena kalau ini diteruskan (Kasasi), pastinya proses akan lama, butuh waktu yang dan biaya lagi,” kata Nimrod.

Opsi yang akan bupati tempuh,  katanya, mempertemukan perusahaan dengan masyarakat untuk musyawarah. Mediasi ini disebut sebagai langkah yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak guna mencari solusi.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan bupati menganulir langkah kasasi di Mahkamah Agung. Bagi Angky, persoalan hukum yang bergulir di meja persidangan dengan mediasi perusahaan dan masyarakat adat merupakan dua hal berbeda. Yang berseteru di pengadilan adalah pemerintah dan perusahaan.

“Bukan perusahaan dengan masyarakat. Jadi,  kalau tidak melanjutkan kasasi dengan dalih akan menempuh jalur mediasi ini agak kurang nyambung. Mestinya bupati gunakan kesempatan hukum untuk mempertahankan putusan,” kata Angky.

Iwan menyambut baik upaya bupati mencabut upaya kasasi di Mahkamah Agung, dan akan mempertemukan perusahaan dengan masyarakat.  Perusahaan siap karena dia klaim selama ini tak punya catatan konflik dengan masyarakat.

Bahkan pertemuan itu diyakini akan membuka persoalan makin benderang, bagaimana dulu proses sosialisasi ke masyarakat pemilik ulayat hingga izin lokasi dan IUP terbit oleh Bupati Otto Ihalauw.

Munculnya penolakan dari masyarakat yang belakang masif, Iwan menuding karena ada provokasi dari sejumlah pihak setelah Bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP ASI dan PUA.

Imbas menyerah di jalur hukum, bupati kehilangan kepercayaan masyarakat . Apalagi selaku kepala daerah, Samsudin tidak menjelaskan gamblang alasan menganulir langkah kasasi itu. “Kan proses ini juga tidak mengganggu kesibukan bupati. Ada pengacara yang akan mengurusnya, bukan bupati yang turun sendiri,” kata Angky.

Sebagai pendamping masyarakat, Angky menyesali langkah bupati. Pasalnya, keputusan bupati mencabut izin lokasi dan IUP hingga menghadapi persidangan di PTUN dan PTTUN, mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat di Teminabuan dan Konda.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memfasilitasi diskusi akademis-kritis untuk mengkaji dan memeriksa putusan PTTUN Makassar dan kasasi antara Bupati Sorong dan Sorong Selatan melawan perusahaan perkebunan sawit, di Jakarta pada 15-16 November 2022.

Pertemuan ini mengundang peserta masyarakat adat terdampak dari Sorong dan Sorong Selatan, perwakilan LMA Malamoi Sorong, AMAN Sorong Raya, dan Relawan Tolak Sawit Sorong Selatan. Juga, perwakilan pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Pendamping Hukum Bupati Sorong dan doktor Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya.

Sorong dan Sorong Selatan adalah dua dari lima kabupaten di Papua Barat yang terdapat izin operasional perusahaan sawit bermasalah.

Hasil evaluasi Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap izin 30 perusahaan sawit, sedikitnya ada 12 izin perusahaan dicabut masing-masing kepala daerah. Empat izin cabut di Sorong Selatan, empat di Sorong, dua di Teluk Bintuni, dan masing-masing satu di Fakfak dan Teluk Wondama.

Tak ingin kehilangan ruang hidup

Andrianus Kemerai, Kepala Kampung Bariat mengatakan, hutan adat di Bariat bak supermarket bagi mereka. Ia menyediakan segala kebutuhan manusia dan hewan. Di wilayah ulayat marga Afsya ini juga menyimpan banyak tempat keramat yang harus dijaga dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya. Di hutan adat mereka, pemerintah keluarkan izin buat perusahaan sawit, ASI.

Jika ambisi perusahaan itu terwujud, Charles Tawaru, Coordinator Project Yayasan Konservasi Indonesia (YKI) Sorong menyebut,  kesuraman masa depan masyarakat adat sudah menganga di depan mata. Selain menghancurkan biodiversitas hutan, dalam hitungan jangka panjang kebun sawit bukan proyek yang ramah lingkungan.

Konsesi minimal berdurasi selama 30 tahun, katanya, akan dimanfaatkan perusahaan untuk menggenjot produktivitas kebun secara maksimal. Penggunaan bahan kimia sebagai pupuk sawit menjadi kelaziman. Jika sampai  terjadi, praktis lahan bekas sawit akan menjadi kawasan tandus yang tak produktif lagi untuk bercocok tanam saat HGU berakhir. Unsur hara dalam tanah menjadi rusak.

“Yang ada lahan itu hanya bisa jadi pemukiman,” kata Charles.

Imbas lain yang bakal dirasa masyarakat selama ada tanaman sawit, katanya, sumber air. Sawit merupakan tanaman yang rakus akan air. Satu tanaman dalam sehari menyerap antara 8-16 liter air.

Charles mengkalkulasi, jika dalam satu hektar lahan ditanam minimal 100 tanaman, dari 37.000 hektar lahan di Konda akan terdapat 3.7 juta sawit yang bercokol selama 30 tahun. Air yang diserap sebanyak 59,2 juta liter air perhari.

“Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sungai yang ada di wilayah ini. Akan terserap habis oleh sawit dan kering,” katanya.

Iming-iming kebun plasma sawit yang lazim ditawarkan perusahaan, Charles bilang hanyalah kesejahteraan semu yang menipu. Mengolah kebun sawit perlu ongkos tidak sedikit dan keahlian. Dari 37.000 luas konsesi, alokasi untuk plasma minimal 6.000 hektar (20%). Ongkos operasional selama tiga tahun sejak ditanam hingga berbuah, mencapai Rp116,4 juta. Biaya ini tak sebanding dengan harga jual tandan buah segar (TBS) di Papua hanya Rp1.000/ perkg.

Ujung-ujungnya, kata Charles, masyarakat yang tak mampu bertahan akan mengembalikan lahan plasma ini ke perusahaan, dengan kompensasi Rp300.000 perbulan. Apalagi,  masyarakat Papua tak biasa berkebun sawit.

Warga adat  teguh menolak kehadiran perusahaan sawit. “Kami tegas menolak perusahaan sawit yang akan menghancurkan hutan adat. Kami tidak mau peninggalan leluhur tempat kami meramu, hancur dan tidak bisa dinikmati anak cucu,” kata Andrianus. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan