Nabire, WAGADEI – Kedatangan kapal Hovercraft besar yang berlabuh di KALI Degeuwo memicu gelombang penolakan massal dari masyarakat Siriwo di antara kabupaten Nabire dan Dogiyai, Papua Tengah.
Pasalnya, bagi warga pribumi yang mendiami di daerah Siriwo menganggap kapal Hovercraft bukan sekadar sebagai alat transportasi, melainkan ancaman serius terhadap hak ulayat dan keberlanjutan sumberdaya alam (SDA) di wilayah Siriwo.
Hal itu disampaikan kepala suku besar Siriwo, Otto Magai kepada wagadei.id hari Rabu, (27/11/2024). Ia mewakili seluruh lapisan masyarakat Siriwo menyatakan dengan tegas kehadiran kapal Hovercraft tanpa izin dari warga pribumi diantaranya kepala suku sebagai pimpinan masyarakat adat, tokoh pemuda, dan kepala distrik Siriwo.
“Kami dari masyarakat adat sudah menyuarakan sikap menolak kehadiran kapal tanpa izin resmi pada tanggal 23 November 2024 lalu. Sebab masuknya kapal tanpa persetujuan masyarakat adat adalah pelanggaran serius terhadap hak ulayat mereka. Maka kami tidak akan membiarkan kapal itu masuk ke kali Degeuwo tanpa izin dari kami, pemilik sah tanah ini. Kehadiran kapal dan komponennya hanya membawa ancaman bagi kelestarian lingkungan dan kehidupan kami,” katanya tegas.
Penolakan masyarakat Siriwo terhadap kapal Hovercraft ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi.
Secara tegas mereka menegaskan bahwa tanah adat adalah warisan leluhur yang tidak bisa dirampas begitu saja.
“Kami menjaga tanah ini untuk anak cucu kami. Kehadiran kapal Hovercraft tanpa izin sama saja dengan penghinaan terhadap kedaulatan kami sebagai masyarakat adat,” kata Otto Magai.
Masyarakat Siriwo juga menuntut pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi Papua Tengah agar wajib menghormati dan melindungi hak ulayat mereka. Mereka mendesak agar kehadiran kapal Hovercraft di Kali Degeuwo dihentikan dan pemerintah lebih serius menangani isu perlindungan hak masyarakat adat.
“Penolakan masyarakat Siriwo adalah pengingat bahwa tanah Papua bukanlah sekadar sumber daya, tetapi juga identitas dan kehidupan bagi masyarakat adat. Kekayaan alam Papua seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat setempat, bukan alat untuk memperkaya pihak luar,” kata Otto.
Hal senada disampaikan Kepala Distrik Siriwo, Anselmus Degei. Menurut dia, wilayah Siriwo bukanlah tanah kosong yang bisa dimasuki seenaknya.
“Kami sebagai pemerintah distrik sekaligus pemimpin masyarakat, sangat melarang keras masuknya kapal ke kali Degeuwo tanpa izin masyarakat. Hak ulayat kami adalah kedaulatan yang tidak bisa digadaikan,” kata Degei.
Kehadiran kapal di pedalaman Papua Tengah di distrik siriwo kabupaten Nabire sering kali digadaikan dengan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak adil.
Kali Degeuwo, lanjut dia, yang terletak di wilayah yang kaya akan sumberdaya alam seperti emas, kayu dan hasil bumi lainnya menjadi salah satu sasaran utama.
“Masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada ekosistem sungai dan hutan merasa kehadiran kapal Hovercraft adalah langkah awal untuk membuka jalan bagi perampasan kekayaan alam mereka,” katanya.
Pengalaman di berbagai wilayah Papua membuktikan bahwa eksploitasi sumber daya alam selalu membawa dampak buruk bagi masyarakat adat.
Menurut dia, sungai yang dulunya jernih menjadi tercemar akibat limbah tambang, hutan adat hilang dan masyarakat dipaksa meninggalkan tanah leluhur.
“Bagi masyarakat Siriwo, kedatangan kapal di Kali Degeuwo adalah sinyal peringatan atas kemungkinan kerusakan serupa,” ujarnya. (*)