Ibu Bumi – Ibu Kehidupan, Bagaimana Kita Memaknainya?

SETIAP tanggal 22 Desember kita merayakan “Hari Ibu”. Di Indonesia, Hari Ibu telah identic dengan kebaya, lomba masak, dan hal-hal lain yang memiliki konteks domestifikasi: “masak, macak, manak”. Lebih mirip “Mother’s Day” di negara Barat.

Hari Ibu merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri oleh 30-an organisasi perempuan Jawa dan Sumatra. Para peserta kongres berembuk untuk memajukan perempuan dan menempatkan perempuan sebagai komponen penting memperjuangkan kemerdekaan. Jadi semangat Hari Ibu 22 Desember berbeda dengan Mother’s Day yang dirayakan setiap 10 Mei.

Tanpa bermaksud menambah kritik terhadap praktik cinta kasih kepada setiap ibu, pejuang kehidupan sepanjang masa, dalam perayaan Hari Ibu kali ini saya ingin menghubungkannya dengan cinta dan penghargaan terhadap Ibu Bumi.

Memori saya kembali suatu ketika saat saya berada di Kabupaten Jayapura, Papua, pada 2016. Saat itu saya banyak berbincang dengan para mama, bapak, dan masyarakat adat untuk belajar konsep Tana Papua sebagai “ibu” yang menyusui dan menjaga manusia dan segala yang ada di dalamnya. Maka jika Tana Papua dirusak, sama artinya dengan mengacak-acak tubuh ibu yang kita cintai.

Ibu Bumi ini yang sekarang sedang dalam posisi sekarat dan tidak berdaya. Karena aktivitas anak-anaknya, para manusia, yang begitu gegabah bahkan serakah mengeksploitasi tubuh Ibu Bumi, mengeluarkan dan menggunakan berbagai sumber daya alam yang mengakibatkan krisis iklim akibat produksi gas rumah kaca yang berlebih. Gas rumah kaca inilah yang makin mencekik napas kehidupan Ibu Bumi.

Ketika kita menerabas hutan sesungguhnya kita tengah mencukur mahkota Ibu Bumi dan mengubahnya menjadi berbagai produk untuk menunjang hidup, bahkan kemudian gaya hidup manusia modern. Manusia yang merupakan anak Sang Ibu ini berulah pula dengan beragam langgam ekonomi politik pada saat harus duduk bersama untuk menentukan apa yang terbaik untuk menolong Ibu Bumi yang sedang sekarat ini.

Dalam pikiran banyak orang, bisa jadi manusia berbuat banyak dalam konteks pemanasan global dan perubahan iklim untuk menolong bumi, menyelamatkan bumi. Padahal fakta filosofis yang dilakukan adalah untuk menyelamatkan manusia itu sendiri. Terbayangkah jika Ibu Bumi sudah tidak sanggup menyangga kehidupan karena ulah tidak bijaksana manusia, maka kehidupan siapa yang sebenarnya dipertaruhkan?

Ibu Bumi sudah begitu rupa melahirkan, menyusui, membesarkan anak-anaknya, mengapa sang anak bisa begitu durhaka menghancurkan ibu kehidupannya? Jika Ibu Bumi hancur, siapakah yang sebenarnya musnah?

Maka, Hari Ibu di balik segala kritik terhadap pemaknaannya, mengapa tidak kita gunakan untuk menunjukkan cinta sejati kepada Ibu kehidupan manusia? Maka jika kasih ibu sepanjang masa, seharusnya cinta anak juga sepanjang hayat.

Selamat Hari Ibu, Selamat Hari Perempuan. Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Kehidupan kita semua. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *