Koalisi peduli alam Papua dan organisasi Cipayung datangi DPR Papua tuntut 6 poin

Jayapura, WAGADEI – Sejumlah organisasi yang tergabung dalam koalisi peduli masyarakat adat suku Aywu di kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan dan organisasi Cipayung diantaranya PMKRI Cabang Jayapura, HMI Cabang Jayapura, GMKI Cabang Jayapura, organisasi kampus UKM Dehaling Universitas Cenderawasih, IMPPAS, KOMPAP Papua, Sahabat Kowaki,Volunter Green Peace Indonesia datangi dan menuntut agar DPR Papua segera mengawasi eksekutif untuk memastikan perlindungan, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.

Hal itu terungkap ketika pihaknya menggelar aksi demonstrasi damai yang dilakukan pada Jumat, (6/10/2023).

Tak hanya itu, sebelumnya mereka telah lakukan protes terhadap Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 juga diwujudkan dengan berbagai cara mulai dari melakukan aksi demostrasi, menanamkan plang berisi Putusan MK tentang Pengakuan Hutan Adat, Menanamkan Salib dan Bendera Merah Putih di wilayah adat masyarakat adat Awyu dan pimpinan marga Woro mengajukan gugatan melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Propinsi Papua di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura (PTUN Jayapura) yang terdaftar dengan Register Perkara Nomor: 6/G/LH/2023/PTUN.JPR.

Anjes Jeujanan menjelaskan, berkaitan gugatan pimpinan marga Worodi PTUN Jayapura, pada perkembangannya ada beberapa pihak yang melibatkan diri sebagai gugatan intervensi

“Dalam kasus ini, kami libatkan Walhi Nasional dan Pusaka Bentala Rakyat yang melibatkan diri sebagai Penggugat Intervensi sementara PT.IndoAsiana Lestari sebagai Tergugat Intervensi. Sampai saat ini, proses persidangan telah memasuki fase mendengarkan pendapat ahli,” katanya.

Ahli juga menjelaskan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan awal tanpa paksaan yang merupakan hak asasi masyarakat adat. Pemerintah harus memastikan syarat ini dipenuhi sebelum memberikan izin-izin yang berdampak terhadap masyarakat adat. Pengabaian terhadap hal ini berarti pelanggaran terhadap hak masyarakat adat.

Pemerintah seharusnya memasukkan instrumen FPIC ini dalam amdal, mengingat Indonesia pun telah mengadopsi kebijakan internasional untuk mengatasi krisisiklim.

Berikut adalah pernyataan sikap koalisi peduli masyarakat adat Papua

Pertama; DPR Papua Harus menjadi lembaga independen dan lepas dari cengkraman oligarki untukdapat mengawasi eksekutif untuk memastikan perlindungan, pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat;

Kedua; DPR Papua harus mengusulkan kebijakandan memproduksi regulasi yang melindungi hak-hak masyarakat adat;

Ketiga; Mendesak DPR Papua memanggil Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua sebagai bentuk mengevaluasi terhadap kebijakan yang belum menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak masyarakat adat Papua;

Keempat; DPR Papua merekomendasikan Kepala Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua wajib menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak masyarakat adat Papua khususnya masyarakat adat suku Awyu (hak marga Woro) sesuai perintah Pasal 43, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;

Kelima; Mendesak DPR Papua harus segera mendeklarasikan kondisi krisis iklim yang terjadi di Papua akibat industri ekstraktif yang menghancurkan hutan dan alam Papua;

Keenam; Mendesak DPR Papua wajib secara simultan membuat kebijakan mitigasi dan adaptasi krisis iklim di Papua dan merekomendasikan kebijakan tersebut diterapkan untuk melindungi rakyat Papua khususnya generasi mendatang. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan