Perusahaan sawit yang akan masuk di Papua, menjanjikan kebun plasma sebagai bagian dari pendekatan kepada pemilik ulayat saat proses pelepasan tanah adat.
Meski seluruh tanah untuk pembangunan kebun sawit dari masyarakat adat, biaya bangun kebun plasma tetap dibebankan kepada masyarakat adat lewat koperasi.
Tak ada satupun perkebunan plasma sawit di Papua dikelola masyarakat adat. Masyarakat adat hanya menerima hasil plasma setelah dipotong kredit dan biaya operasional. Di beberapa tempat, hasil plasma dibagi per marga sesuai jumlah luas lahan yang mereka lepas ke perusahaan.
Hilman Afif dari Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, plasma, tak jarang digunakan perusahaan untuk mendapatkan “lahan lebih” dari yang telah mereka dapatkan melalui izin.
Laporan: Asrida Elisabeth (Jayapura)
Ada kopi, petai, duku sampai rambutan. Bibit-bibit tanaman buah ini sedang Jerry Enef, siapkan untuk tanam di sisa lahannya. Sebagian besar tanah adat mereka sudah ditanami sawit. Sekitar 1.500 hektar tanah Marga Enef sudah diserahkan ke PT Tandan Sawita Papua (TSP) untuk tanam sawit. Sebagai imbalan dari penyerahan tanah itu, saat ini Marga Enef mendapat kebun plasma sekitar 200 hektar.
Jerry, merupakan Ketua Marga Enef. Marga yang biasa disebut Keret Enef ini mendiami Kampung Amyu, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua.
“Kesepakatan kemitraan, kami sebagai pemilik 80 berbanding 20 pembagiannya. Kami dapat 20%, perusahaan 80%,” katanya.
Marga Enef menerima hasil kebun plasma sejak 2021. Terakhir mereka menerima September 2022. Dana plasma dibagi pertiga bulan. Dalam setahun, setiap marga menerima empat kali. Dengan luas lahan 200 hektar, Marga Enef menerima sekitar Rp60 juta tiap tiga bulan.
Sebagai ketua marga, Jerry membagi untuk semua anggota marga, tua, muda, hingga anak-anak.“Di Marga Enef per individu dibagi. Anak kecil juga dibagi. Yang sudah kawin dapat Rp2 juta, yang belum kawin Rp1 juta. Kalau anak sekolah Rp500.000.”
Enef adalah satu dari delapan keret di Distrik Arso Timur dengan tanah ulayat jadi area konsesi TSP. Anak usaha PT Eagle High Plantations Tbk ini mendapat izin usaha perkebunan pada 2009 seluas 26.048 hektar. Dari situ, ada 18.337,90 hektar sudah dikelola. Sekitar 13.000 hektar berhak guna usaha (HGU) dan ditanami sawit.
Dua belas tahun lalu, tepatnya 2010, Jerry Enef adalah satu ketua marga yang menerima uang yang disebut sebagai “tali asih” dari perusahaan. Publik di Jayapura kala itu heboh dengan judul berita di harian Bintang Papua “3 Meter persegi Tanah Adat Senilai Sepotong Pisang Goreng.”
Berita itu membahas ganti rugi tanah adat milik penduduk Rp384.000 perhektar, atau hanya Rp384 per meter persegi. Mereka membandingkan dengan harga gorengan di Jayapura Rp1.000 per potong.
Perusahaan dan pemerintah tidak menyebut dana ini sebagai ganti rugi tetapi tali kasih. Selain dana tali kasih, dalam berita sama, Handoyo, Senior Vice President Corporate Care TSP kala itu mengatakan, kalau perusahaan akan memberikan 20% kebun sawit kepada masyarakat sebagai petani plasma melalui koperasi.
Di TSP, koperasi yang mengurus plasma ini bernama Koperasi Susjetkri. Susjetkri adalah singkatan dari Suskun, Jetty, dan Kriku, tiga kampung besar yang menaungi masyarakat pemilik ulayat di wilayah ini.
Surat Keputusan Bupati Keerom Nomor 16/2013 mengatur hak dan kewajiban penetapan petani yang adalah masyarakat adat, pengurus koperasi Susjetkri, dan TSP.
Tidak ada kekhususan dalam perjanjian. Salah satu pasal tentang kewajiban petani plasma antara lain menyediakan lahan minimal dua hektar tiap keluarga. Petani juga harus bersedia dipotong dari hasil tandan buah segar (TBS) untuk biaya operasional kebun, management fee, dan angsuran kredit kepada perusahaan kemitraan.
Kewajiban perusahaan antara lain, membangun kebun mulai dari pembibitan, pembukaan lahan, sampai pemeliharaan tanaman. Juga, melaporkan biaya pemeliharaan tanaman kepada koperasi atau petani peserta dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Keerom, memotong angsuran kredit petani dari hasil penjualan TBS minimal sesuai jadwal angsuran bank. Kemudian, memotong alokasi biaya pemeliharaan tanaman menghasilkan dari hasil penjualan TBS.
Adapun kewajiban koperasi antara lain, menyiapkan kartu anggota petani plasma, membuat rekening koperasi, mentransfer dana hasil kebun ke rekening anggota petani plasma, dan mengkoordinir angsuran kredit anggota petani plasma.
“Cara pembagian, kalau sudah waktu, ketua pengurus induk punya hak untuk mengawal, mencairkan dana SHU triwulan, mengatur sesuai luas areal hektaran, dan membagikan kepada pemilik lewat ketua keret masing-masing,” kata Yohanis Bewangkir, Ketua Pengurus Induk Koperasi Susjetki.
Setelah pembagian ke ketua keret dengan perjanjian sudah menyerahkan hasil triwulan, maka tanda tangan kuitansi bersama. Keret Bewangkir adalah salah satu keret dengan lahan masuk areal TSP.
Dari peta wilayah operasi TSP yang dipegang Yohanis, delapan marga yang hak ulayat masuk konsesi TSP antara lain Putui, Jumbori, Enef, Bewangkir, Kera, Itungkir, Konondroy, dan Bugovgir.
Menurut Yohanis, mereka pertama kali menerima uang plasma pada 2020. Kredit bangun plasma diperkirakan selesai pada 2025. Saat itu, akan ada pembicaraan kembali, apakah plasma tetap dikelola perusahaan atau ke masyarakat.
“Diserahkan kembali ke pemilik kalau pemilik sudah paham untuk mengelola. Kalau belum, berarti tetap ke perusahaan, manajemen yang kuasai, kita (pemilik ulayat) tinggal terima hasil.”
***
Perusahaan menjanjikan kebun plasma sebagai bagian dari pendekatan kepada pemilik ulayat saat proses pelepasan tanah adat tak hanya di TSP, juga perusahaan lain seperti, PT Permata Nusa Mandiri (PMN), anak usaha Astindo Nusantara yang mendapat izin lokasi seluas 32.000 hektar di enam distrik di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura, juga pakai pendekatan ini.
Pada 2018, terbit empat HGU di IUP perusahaan ini. Dua atas nama Koperasi Produsen Naba Nen Abdekan Mari Kita Bersama Membangun Plasma dan Koperasi Produsen Plasma Musari Mandiri.
Meski sudah lama mengantongi izin, baru pada Januari 2022, tepat setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin pelepasan kawasan hutan, PMN mulai membuka lahan. Saat pembukaan lahan ini informasi tentang izin perusahaan ini beredar di masyarakat adat pemilik ulayat hingga menuai pro kontra.
Rosita Tecuari dari Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Suku Namblong di Lembah Grime yang mengawal kasus PMN ini menyatakan, plasma menjadi janji perusahaan ke tua-tua adat yang sudah melepaskan hak ulayat mereka.
“Saya pernah diskusi dengan salah seorang tua adat yang menjadi ànggota koperasi plasma. Beliau sampaikan, kalau terima sawit, akan jadi pengusaha hebat pengusaha yang berdasi.”
Perusahaan juga janji tak kerja tetapi setiap bulan akan terima gaji saja. Rosita menirukan pernyataan tetua adat di lokasi konsesi PMN. Perusahaan menjanjikan masyarakat adat menjadi pengusaha sawit, saat sama menyatakan mereka tinggal menerima uang.
Selain ada gaji bulanan, janji lain jaminan pendidikan anak bahkan sanoai keluar negeri, kesehatan, maupun pembangunan rumah. Janji-janji itu disebut akan berlanjut hingga anak cucu.
Hasil minim
Karel Yarangga, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Papua menyatakan, pembangunan kebun plasma bukanlah bagian dari ganti rugi perusahaan kepada pemilik ulayat.
Permen Pertanian No 19/2013, perusahaan sawit yang beroperasi wajib membangun kebun plasma masyarakat setempat 20% dari IUP.
“Kalau lihat dari kriteria itu makan 100% petani plasma adalah orang asli Papua karena yang punya adalah mereka, masyarakat adat.”
Kompensasi untuk pelepasan tanah jadi HGU perusahaan tetap ada tetapi selain itu perusahaan punya kewajiban membangun plasma 20% dari luas areal yang dikuasai.
Meski koperasi-koperasi yang membawahi masyarakat adat dibentuk di berbagai wilayah perusahaan, kenyataan tidak ada yang dikelola langsung masyarakat adat.
“Plasma ini bukan murni petani. Mereka ini masyarakat adat yang langsung diadopsi jadi petani. Dari berbagai kelemahan mereka hingga hampir sebagian besar itu perusahaan mempekerjakan buruh yang ikut panen hasil dari plasma. Kata kasarnya kita punya petani terima bersih.” ucap Karel.
Pemasukan masyarakat adat kecil karena mereka tidak bisa mengontrol biaya produksi. Padahal, kalau petani dan koperasi kuat, pendapatan bisa lebih banyak.
“Makanya kalau dilihat, kita punya petani belum sejahtera. Yang dilihat dengan kasat mata ya. Indikator utamanya belum terima maksimal dari hasil itu. Tidak kelola sendiri jadi tidak mengontrol. Banyak biaya produksi yang keluar.”
Padahal, kata Karel, luas plasma cukup besar. Satu keluarga bisa mengelola hingga tiga hektar. Di TSP jauh lebih besar lagi. Satu keluarga bisa sampai 10 hektar karena areal sangat luas dan masyarakat adat sedikit.
“Kalau satu hektar bisa dapat Rp2 juta, satu bulan bisa Rzp20 juta.”
Pendampingan dinas terkait terhadap koperasi dan masyarakat sangat penting. Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi harus mengawasi karena ada hak dan kewajiban mereka di perjanjian kerjasama. Jadi, katanya, antar perusahaan dan petani memiliki hubungan saling menguntungkan. Pendampingan kepada masyarakat, katanya, agar bisa mengelola keuangan dengan baik juga penting sebagai bagian dari plasma ini.
Saat ini, katanya, perusahaan memberi perhatian pada perkebunan plasma dengan baik untuk menjamin produksi. Perusahaan tidak bermaksud tidak menyerahkan tetapi ketika melihat petani tak mengurus, perusahaan mengambil alih karena juga punya kewajiban membeli hasil.
Hilman Afif dari Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, perusahaan meraup untung banyak dari situasi ini.
Plasma, katanya, tak jarang digunakan perusahaan untuk mendapatkan “lahan lebih” dari yang telah mereka dapatkan melalui izin.
Masyarakat, katanya, terima hasil sedikit, apalagi dengan skema koperasi primer untuk anggota (KKPA). Dalam skema itu, hasil baru diterima pada tahun ketujuh setelah tanam. Persentase bagi hasil sangat kecil, 70% untuk membayar cicilan. Hanya 30% yang diterima petani.
Masalah lain, katanya, transparansi informasi perusahaan ke masyarakat adat minim. Dalam laporan Auriga Nusantara bersama KPK tentang kerentanan korupsi dalam sistem perizinan perkebunan sawit memperlihatkan, mayoritas petani di Papua tidak pernah mendapatkan informasi berapa biaya perusahaan keluarkan untuk bangun dan merawat kebun plasma.
Setelah panen, mereka juga tak tahu berapa penghasilan yang harus mereka dapat.
“Mereka hanya diberikan bagi hasil dari perusahaan tanpa mengetahui berapa riil pendapatan dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.”
Realisasi kecil
Implementasi kebun sawit plasma di Papua masih kurang dari 50%. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Papua menyebutkan, hingga Agustus 2022, ada sekitar 15.850,75 hektar kebun plasma di seluruh Papua. Luasan itu ada di konsesi perusahaan-perusahaan tersebar di Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Boven Digoel, Nabire, dan Mimika.
“Belum 100% dibangun. Ada yang baru 40-50%,” kata Karel.
Dia bilang, penyebab realisasi plasma minim ini, karena persoalan hitung-hitungan internal perusahaan. Selain itu, kata Karel, kekhawatiran kampanye perlindungan hutan oleh berbagai organisasi lingkungan.
Karel contohkan, PT Rimba Matoa Lestari di Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, hingga kini belum membangun plasma karena berada di areal gambut.
Realisasi pembangunan perkebunan plasma, katanya, bagian dari penilaian usaha perkebunan (PUP) hingga perusahaan tetap berupaya memenuhinya.
Auriga Nusantara dan KPK menggunakan data IUP untuk menganalisa implementasi perkebunan plasma di Papua. Bangun plasma adalah salah satu kewajiban dalam IUP. Di Papua, ada 33 perusahaan sudah verifikasi dengan luasan 897.946 hektar, tujuh sudah bangun kebun plasma 7.997 hektar, walau belum memenuhi syarat 20%.
Menurut Hilman, realisasi plasma rendah karena dua hal. Pertama, inkonsistensi regulasi. Perusahaan selalu pakai Pasal 15 (2) Peraturan Menteri Pertanian No.98/2013 yang secara umum menyatakan tak ada kewajiban pembangunan kebun plasma di dalam wilayah izin. Padahal, sebelum aturan terbit, sudah ada Permentan No.26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, menyebutkan pembangunan kebun untuk masyarakat bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan perusahaan.
Pembangunan kebun masyarakat sebesar 20% ini berada dalam area izin perusahaan. Selain itu, UU Cipta Kerja, terjadi perubahan nomenklatur, dari wajib berganti memfasilitasi.
Kedua, pengawasan kewajiban plasma oleh pemerintah daerah minim. Kondisi ini, memberi dampak pelanggaran oleh perusahaan. Bahkan, pelanggaran terjadi di perusahaan yang telah merealisasikan kewajiban.
“Misal, dalam kontrak kerjasama antara perusahaan dan kelompok tani, seringkali posisi petani berada di pihak yang dirugikan.”
Untuk memperbaiki tata kelola sawit di Papua, termasuk perkebunan plasma, kata Hilman, pemerintah wajib evaluasi seluruh perusahaan sawit.
Untuk perusahaan dengan izin dicabut, katanya, pemerintah harus memfasilitasi proses pengukuhan sebagai hutan adat. Tak kalah penting, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus turun tangan mengawasi pola kemitraan sektor perkebunan sawit sesuai yang diamanatkan UU No.20/2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
“Dari banyak kasus yang terjadi ada indikasi pelanggaran terutama upaya penguasaan oleh usaha besar terhadap usaha mikro kecil dan menengah.”
Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Belantara mengatakan, praktik kendali selalu tak menguntungkan masyarakat adat sebagai pemilik tanah. Mereka, katanya, tak punya kuasa mengelola, sama seperti petani plasma yang masuk dalam koperasi.
Dia bilang, perbaikan bisa dilakukan apabila pengelolaan dikuasai murni oleh koperasi. Belajar dari petani sawit mandiri, harga jual TBS selalu tidak adil.
Mengatasi kerumitan persoalan perkebunan sawit dan realisasi perkebunan plasma untuk masyarakat adat pemilik ulayat ini, Tigor berpendapat, harus melihat peluang ekonomi yang lain.
Papua, memiliki banyak peluang ekonomi lain selain sawit.
“Kalau mau membangun sawit maka akan membuka akses korporasi-korporasi di Papua, dan akan makin banyak hutan yang harus dibuka.”
*) Liputan ini bagian dari program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak pada 2022.